Oleh Erryl Putera Prima Agoes SH MH
Bukan merupakan peristiwa ataupun kasus baru, tetapi paling tidak menjadi pemicu untuk terungkapnya lebih lanjut bisnis prostitusi online (facebook, SMS, BBM, twitter, whatsapp) sebagai modus kreatif dari cara-cara konvensional yang juga masih terus berlangsung. Ditandai dengan ditemukannya mayat yang kemudian dikenal sebagai Tata Chibi (27 Tahun) di dalam kamar kos-kosannya di Tebet Jakarta Selatan berprofesi sebagai wanita penghibur/PSK. Dua hari berikutnya, pelaku pembunuhan bisa ditangkap/ditahan dan kini sedang dalam proses hukum lebih lanjut. Hasil penyidikan menunjukan bahwa sebelumnya, mereka berkomunikasi/ bertransaksi melalui media online sebelum bertemu secara fisik/langsung; yang kemudian berakhir dengan pembunuhan.
Pada awal bulan Mei ini, oleh Polrestro Jakarta Selatan telah ditangkap dan ditahan seorang laki-laki bernama Robby Abas berprofesi sebagai mucikari/germo yang dari pengakuannya telah dijalaninya sekitar 3 tahunan; dengan penghasilan ratusan juta tiap bulannya. Menurut pengakuannya ada sekitar 200an orang terutama dari kalangan artis menjadi koneksinya dengan tarif sekitar 80-200 juta perkencan; dan dirinya mendapat 20-30%-nya dalam bentuk uang muka sebelum dilakukan pertemuan dan sisa atas kekurangannya diterima langsung oleh si perempuan setelah kencan. Dalam operasional bisninsnya RA menggunakan/memanfaatkakan jejaring sosial yang lazim dikenal secara online karena merasa lebih aman, privacy lebih terjamin/terlindungi, sulit dilakukan pembuktianny; mucikari, penjual dan pembeli sama-sama mendapat keuntungan maupun kepuasan.
Tentang prostitusinya sendiri adalah permasalahan yang sejak dahulu telah ada dan berulang terus hingga sekarang, tetapi modus atau cara operasionalnya kini (semakin yang konvensial) telah berkembang melalui online; bahkan ditengarai tidak lagi semata-mata bertujuan “ekonomis” (meski kurang tetap yang utama) namun sudah dibarengi perilaku sebagai gaya hidup memuja materi berlebihan/hedonisme. Berikut akan coba dilakukan bahasannya, karena hal itu selalu saja menarik hadi bahan kajian/bahasan; dan siapa tahu terungkapnya kembali dapat menjadi semacam “hiburan” untuk pencitraan, popularitas, kesempatan mendapat info maupun untuk pengalihan atas issue-issue strategis yang masih terus membebani beratnya kehidupan rakyat banyak.
Sebagaimana diketahui bahwa, prostitusi telah ada dan menjadi fakta sejarah sejak jaman dahulu kala hingga sekarang masih saja terus berlangsung. Bahkan ada yang mengatakan, kegiatan ataupun profesi seperti itu telah sama tua-nya dengan kehidupan manusia; yakni selalu ada dan belum pernah bisa diberantas secara tuntas. Mengapa? Karena selalu saja ada hukum permintaan dan penawaran, baik secara terbuka (di lokaliasasi) maupun tertutup karena sifatnya personal terkait dengan kebutuhan naluri libido sehingga logika “tak berfungsi” pada saat pelaksanaaannya atau dengan kata lain, nafsu yang demikian itu memang tidak mudah pengendaliannya bagi sebagian orang; tetapi juga bisa dikendalikan pula bagi sebagian lainnya.
Karena substansi naluri kebutuhannya manusiawi serta ada hukum pasarnya; maka prostitusi dalam segala modus dan bentuknya akan terus berlangsung bersama keberadaan manusia dalam berkehidupan bermasyarakat. Tata cara penanganan, solusi dan jalan keluar dalam segala macam bentuknya, sudah pernah dilakukan dan pasti akan terus berlanjut untuk pemberantasanya. Tetapi selalu saja perjuangan dan semangat pemberantasannya, ternyata hanya sampai kepada meminimalisir kuantitas untuk sementara waktu; dan pada waktu/masa lainnya muncul kembali hiruk pikuknya secara reaksional. Contoh konkritnya: begitu kasus meninggalnya Tata Chibi, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama langsung bereaksi melontarkan wacana dibuatnya lokalisasi (mengulang masa Ali Sadikin jadi Gubernur DKI) dengan berbagai alasan klise. Statement itu kemudian diikuti oleh Wakil Gubernur Djarot –juga dengan berbagai dalih- melontarkan perlunya “kartu butuh” bagi yang memerlukannya; sekaligus untuk data pengawasan/pengendalian atas penyebarannya.
Lontaran wacana tersebut, sontak mendapat reaksi/tanggapan beragam dari warga dengan berbagai argumentasinya. Maka untuk sejenak berita itu menjadi topik yang ramai dibicarakan di meia elektronik maupun cetak, meski kemacetan lalu lintas masih terus berlangsung dan pembersihan saluran air/irigasi tak pernah serius. Suasana sedemikian yang biasanya hanya berlangsung 2-3 minggu, paling tidak bisa diindikasikan menjadi atau sebagai “pengalihan issue” karena bisa ditanggapi secara ringan sambil tersenyum. Begitu pula dengan tertangkapnya RA sebagai mucikari; dan tertangkap basahnya artis AA di dalam kamar hotel bintang lima (yang ternyata hanya dimintai keterangan dan tidak ditahan); dan tidak diungkapnya si lelaki hidung belang; telah menjadi bahan pembicaraan ramai yang menasional.
Karena yang terkena adalah AA artis model majalah dewasa; maka –meski bukan hal baru- sorotan terhadap dunia artis menjadi obyek bahasan pembicaran lagi. Oleh para berkompeten dikatakan bahwa untuk menjadi artis itu ada dua jalan yaitu: melalui jalan normal/biasa dan atau jalan pintas. Jalan normal artinya dimulai dari nol, bejuang setapak demi setapak, dengan semangat perjuangan berkeringat, membutuhkan waktu proses bertahun-tahun. Sedangkan jalan pintas atau karbitan adalah dengan memanfaatkan fasilitas fisik dan koneksi, maka dalam tempo relative singkat akan diperoleh sebutan sebagai artis. Jadi dari keseharian, perilaku serta cara berkehidupannya; sebenarnya akan bisa diketahui/terlihat seseorang itu berprofesi sebagai artis beneran/normal , ataukah hanya numpang label ataupun bertopeng sebagai artis.
Terkait dengan pengakuan mucikari RA, dikatakannya bahwa ada 200 nama sebagai koneksinya siap ditawarkan yang sebagain besar dari kalangan artis. Jumlah data yang begitu banyak dengan kisaran tariff mencengangkan ini, ternyata bisa menjadi bagian menarik ada tanda-tanda apakah terhadap life style yang sedang terjadi sehingga “jual badan sesaat” dilakoninya secara sadar (karena diketahui sedikit orang atau istilahnya sembunyi-sembunyi/terselubung). Untuk itu diajukan beberapa masukan these ataupun anti these sebagai berikut:
1. Naluri libido adalah bersifat alamiah manusiawi, yang manifestasinya bisa dikendalikan secara normal dan ataupun secara tidak normal atas dasar keyakinan keimanan agamis seseorang.
2. Karena adanya hukum penawaran dan permintaan yang saling berkebutuhan, adanya kesempatan serta tempat bahkan juga yang membantu; maka terjadilah pelaksanaan prostitusi sebagai perwujudannya.
3. Kategorisasi basic needs manusia dewasa ini ternyata telah berkembang lagi tidak hanya dalam bentuk primer dan sekunder saja; tetapi sudah mulai merasa adanya kebutuhan kategori ketiga dan selanjutnya.
4. Lingkaran serta dunia prostitusi bersifat kompleks banyak pihak terkait, akan berlangsung terus (secara terbuka atau tertutup); tetapi merupakan cara pengendalian yang tidak normal dengan banyak resiko negatif.
5. Terdapatnya 200 nama yang standby menawarkan diri melalui RA sebagai mucikari, menunjukkan bahwa mereka sehari-hari tidak 100% murni berprofesi sebagai PSK; telah menunjukan adanya gejala ataupun tanda-tanda:
a. Bahwa seksualitas adalah satu kekuasaan besar pemicu terjadinya prostitusi.
b. Semakin meningkatnya penghambaan terhadap materi yang ingin diperolehnya secara pintas/instan, dikarenakan tunutan ataupun gaya hidup yang tidak bisa dikendalikan secara normal.
c. Diikutinya gaya hidup matrealistik/hedonism, bisa jadi menggerus sekaligus merontokan nilai-nilai harkat diri
sebagai makhluk sosial karena ego dan harga dirinya justru tidak bisa dihormati atau dihargai selayaknya normal.
Sebegitu banyak aspek (masih ditambah aspek kesehatan) saling berkaitan dalam prostitusi, sehingga penanganan pemberantasannya menjadi tidak mudah meski langkah dan tindakan konkrit terus diupayakan pemberantasannya; atau paling tidak melokalisir menimimalisir kegiatannya. Namun apa yang terjadi? Bisa saja untuk sementara keadaannya mereda, tapi bisa dipastikan suatu saat nanti akan berulang merebak lagi jadi bahan kajian/pembicaraan. Memang begitulah faktanya kalau membicarakan prostitusi yang ada di sekitar kita;nyakni tidak akan pernah tuntas selesai perdebatannya. Jika menurut berbagai kebijakan penanganan tidak pernah selesai, maka tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali menerapkan atau mengatasinya dengan hukum agama secara konsisten tanpa harus mengubah menjadi negara agamis. Nah..!?