PRO KONTRA SURAT EDARAN KAPOLRI
oleh Erryl Prima Agoes
DEngan terbitkannya Surat Edaran (SE) Kapolri No SE/06/X/2015 tanggal 8oktober 2015 soal penanganan ujaran kebencian (hate speech) langsungmengundang pro-kontra dikalangan masyarakat, walaupun argumen polisi sudahjelas dengan adanya berbagai kasus kekerasan mulai konflik sosial, pembakaranrumah ibadah, penyerangan kepada kelommpok minoritas dan lain-lain yangdisebabkan adanya provokasi, penghasutan dan ujaran kebencian yangdimunculkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab
Dari sisi subtansi, ujaran kebencian yang dimaksud dalam SE Kapolri inicakupannya sangat luas, baik berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHPmaupun ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, missal: penghinaan, pencemarannama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut,dan penyebaran berita bohong. Semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisaberdampak pada tindak diskriminasi, kekerasa, penghilangan nyawa, dan ataukonflik sosial. Ujaran kebencian ini dapat dilakukan melalui berbagai media: 1)Orasi kegiatan kampanye; 2) Spanduk atau banner; 3) jejarinng sosial media; 4)Penyampaian pendapat dimuka umum (demostrasi); 5) Ceramah keagamaan; 6)Media massa cetak maupun elektonik; dan 7) Pamflet.
Dengan memperhatikan subtansi, SE Kapolri sangat mungkin berpotensimenjadi “pasal karet” yang dikhawatirkan dapat memberangus berbagai aktivitasdemokrasi dan kebebasan berekspersi serta kebebasan mengemukakan pendapatoleh masyarakat yang sebenarnya telah dijamin oleh konstitusi. Meskipun tanpadikeluarkannya SE Kapolri pun, sudah cukup alasan bagi penegak hukum untukmelakukan penanganan masalah ujaran kebenjian sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengaku tak sepakat dengan surat edarantersebut, karena akan membangkitak pasal karet yang dulu telah ada pada zamanBelanda. Dulu dalam pelajaran hukum Belanda ada pasal sebarkan kebencian.Pasal-pasal itu sangat kolonial dan yang paling banyak menjadi korban adalahpers, “ kata Bagir usai acara Silaturahmi Pers Nasional di gedung TVRI, JlPemuda, Jakarta Pusat, Senin (2/10).
Menurut Bagir, kala itu pers sering terjerat pasal tersebut. Pers seringdianggap menghasut. Oleh karenanya, pada saat itu, pasal kebencian tersebutdihapuskan. “ Saya prihatin dengan surat edaran tersebut dan kita agar berhati-hati (berbicara).,” ucap Bagir.
Menurut Bagir, jika ada pihak-pihak yang merasa dijelekkan dan tidakterima, seharusnya membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Sebab di masa demokrasi seperti saat ini, pembatasan ucapan diangapnya tidak adil. “Lebih baik tidak. Jangan hidup-hidupkan yang dulu ada pada zaman Belanda. Itu akan jadipasal karet,” kata Bagir.
Sesungguhnya, fenomena ujaran kebencian dalam masyarakat kitahakikatnya bukan hal yang baru. Pelbagi peraturan perundang-undangan sudahmengatur, eksplisit maupun implicit, yaitu dalam KUHP, UU No 11 Tahun 2008tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU No 7 Tahun 2012 tentangPenanganan Konflik Sosial dan lain-lain. Dalam konteks itulah, munculnya SEKapolri perlu mendapat pencermatan supaya implementasinnya tindak kontrakproduktif.
Pertama, bentuk produk hukumnya ialah Surat Edaran, bukan peraturanperundang-undangan. Maka SE Kapolri tersebut pada dasarnya hanya ditujukan,berlaku dan mengikat secara internal di lingkungan anggota kepolisi. Mestinyaproduk hukum yang dikeluarkan untuk melaksanakan perundang-undanganberbentuk peraturan seperti Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Peraturan Presiden(Perpres), hal ini menyebabkan SE Kapolri tersebut bisa menjadi alat politikpenguasa dan berpotensi melanggar HAM serta menjadi bentuk penyalahgunaanwewenang (detoumement de pouvoir) oleh penegak hukum apabilaimplementasinya tidak dilaksanakan secara professional oleh aparat penegakhukum.
Kedua, SE Kapolri seharusnya mengacu, sejiwa dan tidak menyimpangatau mengubah norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yangberlaku. Sementara dalam SE Kapolri ini ada berapa rumusan norma hukumpositif yang diubah sifatnya, seperti beberapa bentuk ujaran kebencian dalamhukum positif. Misalnya delik penghinaan dan pencemaran nama baik yangtadinya hanya berupa delik aduan berubah menjadi delik biasa.
Bentuk delik aduan, penanganannya harus ada laporan dan pengaduanterlebih dahulu dari masyrakat yang dirugikan, sedangkan bentuk delik biasa,penegak hukum tidak perlu menunggu adanya laporan aduan, tetapi dapatlangsung bertindak melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ujarankebencian. Hal ini bisa menimbulkan kontradiksi dan implikasi hukum yangberbeda dalam implementasi penegakan hukumnya. Dalam era IT sekarang,masyarakat sudah banyak menggunakan IT yang dapat mengakses internet dimanasaja.
Ketiga, di samping catatan kritis kelemahan-kelemahan dalam SE Kapolri,ada subtansi yang sebenarnya sudah baik dan bijaksana, terutama terkait langkah-langkah peenanganan ujaran kebencian yang dilakukan secara bertahap. Keempat, persoalan ujaran kebencian sebenarnya merupakanpermasalahan global dan kontemporer. Masalah ini hampir terjadi di seluruhNegara di dunia.
Jadi bukan hal yang aneh, kalau pada masa Pemerintahan Jokowi sekarangini mulai serius memperhatikan berbagai kasus tindak kekerasan dan intoleransiyang timbul karena ujaran kebencian. SE Kapolri tersebut, adalah respons danantisipasi pemerintah khususnya penegak hukum terhadap permasalahan ujarankebencian di Indonesia. Sosialisasi harus dilakukan tidak hanya terhadapmasyarakat namun juga terhadap seluruh anggota Polri, agar lebih professionaldalam melaksanakan tugas-tugasnya, khususnya dalam menangani kasus-kasusyang berkaitan dengan ujaran kebencian. (**)