Pilkada Tentang Uang dan Kampanye Hitam
Ditulis Oleh : Udayana
Pengamat Politik Asal Riau
SUDAH UMUM kita ketahui bahwa dalam ajang Pemilihan langsung diperlukan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut diperlukan untuk belanja mendapatkan dukungan dari Partai maupun untuk mengumpulkan KTP Pendukung (Calon Independen), Ada dana sosialisasi ke Masyarakan, Dana Advertising dan dana-dana lainnya yang oleh kantong kebanyakan masyarakat terbilang cukup fantastis.
Biaya yang besar ini membuat kesempatan orang untuk menjadi pemimpin di negeri kita pada umumnya sangat ditentukan oleh kemampuan financialnya, baik kemampuan tersebut berasal dari diri sendiri maupun melibatkan partisipasi dari fihak ketiga lainnya yang tertarik memberi dukungan finacial dengan pertimbangan yang beragam.
Kadang kala dana kampanye ini sering dijadikan bumbu penyedap dengan menghembuskan isu-isu yang bertujuan untuk menjatuhkan lawan.
Salahkah itu ?
Sebagai sebuah game saya tidak melihat itu merupakan suatu kesalahan. Ada tackling yg bersih, ada juga tackling yg sedikit keras yang aneh apabila dalam sebuah game tidak terjadi tackling. Sebetulnya kita bisa saja meminimalisir pengunaan komponen ini sebagai bahan kampanye hitam, misalnya dengan membuat biaya kampanye masing-masing pasangan calon diwajibkan untuk transparan baik berupa sumber pendanaan maupun pengunaannya. Tetapi kita pasti belum akan siap untuk melakukan itu.
Pagi tadi melalui pesan singkat WhatsApp (WA) saya mendapat sebuah selebaran yang berusaha untuk melakukan tackling terhadap Pasangan Mahyeldi – Audy Joinaldi. Inti dari selebaran tersebut menyebutkan, bahwa Buya Mahyeldi dibeli/digoyahkan imannya oleh gelontoran dana kampanye yang disediakan oleh Audy Joinaldi yang memang terkenal sebagai pengusaha muda yang sangat sukses di bidang bisnis. Tak berhenti sampai disitu selebaran itu juga membuat hal-hal spekulatif tentang sumber dana tersebut.
Saya tentu saja senyum-senyum kecil saja membaca selebaran tersebut, tetapi agar kita tidak terjebak dalam informasi yang tidak logis baik ditinjau dari kesimpulan maupun pemaparan maka ada baiknya kita kupas dengan baik tentang hal ini secara proporsional.
Untuk mengupasnya, kita tentu saja perlu pembanding yang terukur, dan saya akan mengambil contoh Pilkada DKI sebagai rujukan. Dalam Pilkada DKI dimaksud dari berbagai sumber baik media maupun keterangan langsung dari kandidat dalam berbagai kesempatan diketahui bahwa Pasangan Anies Basweldan dan Sandiaga Uno yang pada waktu itu menjadi Pasangan Calon mengeluarkan dana yang tidak proporsional. Anies diketahui mengeluarkan dana sebesar Rp.400 Juta Rupiah sedangkan Sandiaga Uno mengelontorkan dana sebesar Rp.108 Milyard. Jumlah yang jomplang ini tidak membuat komposisi mereka bertarung tidak harus disesuaikan dengan besar dana yang disediakan. Anies yang “hanya” mengeluarkan dana yang relatif sangat kecil justru menjadi Calon Gubernur sedangkan Sandi yang mengeluarkan dana lebih dari 90 persen justru menjadi calon Wakil Gubernur saja.
Dalam case seperti itu, tidak satupun orang menyampaiakan bahwa Anies dibeli oleh Sandi atau yang lebih lucu lagi anies digoyahkan Imannya. Semua biasa saja karena sebagai sebuah pasangan mereka berbagi peran sesuai dengan kemampuan dan kapabilitas masing-masing untuk menjadi satu kesatuan yang kuat dan memenangkan pertarungan. Begitu juga halnya dengan pasangan Buya Mahyeldi dan Audy Joinaldi, kalaupun sebagian besar biaya kampanye dikeluarkan oleh Audy Joinaldi bukan berarti sesuatu menjadi seperti kesimpulan naif yang disampaikan oleh selebaran tersebut.
Masih dari rujukan yang sama, Sandiaga Uno yang juga boss dari Saritoga Group tentu saja tidak akan terlalu terbebani karena jumlah dana tersebut bagi beliau pribadi bukannya dana yang besar jika dibandingkan dengan total kekayaan bersihnya selaku pribadi maupun group Perusahaannya. Audy Joinaldi yang juga merupakan boss dari Perkasa Group juga tidak akan merasa terbebani dengan biaya Pilkada yang relatif kecil jika dibandingkan dengan total kekayaan bersihnya. Spekulasi-spekulasi yang tidak berdasar tersebut disamping tidak baik juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencemaran nama baik, tetapi saya tidak menyarankan kepada kandidat untuk membawanya ke ranah hukum pada saat ini karena akan membuyarkan konsentrasinya untuk hal yang lebih utama. Put the First Thing at the first think.
Terakhir marilah kita sama-sama merenung untuk dapat menjauhi hal-hal yang bertujuan untuk mencederai demokrasi. Sangat disayangkan apabila putra-putra bangsa yang ingin turut serta membangun negeri dicaba dihalangi dengan hal-hal yang kontra produktif. Adalah Tugas kita bersama untuk saling membuka diri dan berpegangan tangan mengejar ketertingalan dari negara-negara lain dengan memberi dukungan bagi mereka yang ingin berperan aktif dalam menentukan kebijakan melalui jalur legislatif berkiprah secara maksimal.