Melawan Kebakaran Hutan, Negara Harus Kuat Mempidanakan Korporasi

Foto: Detik.COM/ Andhika Akbarayansyah

Jakarta – Newshanter.com,- Peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di berbagai provinsi di Indonesia, terus berulang setiap tahun. Selain langkah pemadaman, upaya penting untuk mencegah hal tersebut adalah dengan penegakan hukum.

Pakar kebijakan dan hukum lingkungan Mas Achmad Santosa menilai, negara harus berinisiatif untuk mempidanakan pertanggungjawaban korporasi di kasus kebakaran lahan dan hutan. Bukan melulu pelaku fisik di lapangan.

“Corporate criminal liability-CCL sasarannya adalah korporasi sebagai badan hukum (legal entity) dan pengurus korporasi (diukur secara de jure maupun de facto). Prinsip “chasing the suspect dan chasing the asset” harus dilakukan secara bersamaan melalui pengoptimalan kemampuan intelijen penelusuran aset korporasi,” kata Ota, sapaan akrab Mas Achmad Santosa, saat berbincang dengan detikcom, Kamis (1/10/2015).

Dalam hal tersebut, penting adanya seorang konduktor yang paham tentang pidana korporasi. Sang konduktor harus berasal dari pemerintah yang menghimpun semua kekuatan, mulai dari penegak hukum, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Keuangan sampai Kemenkum HAM.

“Penelusuran aset ini juga penting dalam mendukung upaya menggugat biaya pemulihan ekosistem yang rusak dan kerugian negara melalui gugatan perdata oleh negara yang diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan seperti upaya negara melawan kulprit PT. Kalista Alam di Aceh,” terangnya.

Menurut Ota, sosok negara yang kuat harus hadir dan tidak boleh kalah dan mengalah. Proses-proses hukum ini harus dikawal oleh negara maupun masyarakat sipil termasuk media sampai pada ujung prosesnya yaitu kasasi di Mahkamah Agung. Pengawalan itu perlu karena intervensi terhadap proses hukum itu bukan cerita karangan tetapi sangat riil.

Sistem hukum nasional Indonesia, kata Ota, yang dikenal dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dianggap sudah memadai dan diakui secara internasional sebagai UU yang progresif. UU ini tidak hanya tindak pidana melakukan sesuatu (by commission) tetapi juga tidak melakukan sesuatu (by omission) merupakan subyek pertanggung jawaban pidana.

“Tidak dapat lagi korporasi lolos dari jerat hukum dengan alasan “api meloncat” dari lahan tetangga atau dibakar oleh orang lain yang bukan kehendaknya,” tegasnya.

Mantan komisioner KPK ini menegaskan, menurut hasil audit kepatuhan yang dilakukan UKP4 pada tahun 2014 terhadap sejumlah perusahaan HTI dan kelapa sawit, mayoritas mereka tidak mematuhi kewajiban-kewajiban pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang secara keseluruhan terdapat 97 kewajiban yang diwajibkan dalam berbagai peraturan perUUan.

“Saya melihat dalam daftar yang diindikasikan sebagai pelaku Karhutla adalah langganan peristiwa karhutla yang lalu. Perusahaan-perusahaan itu dapat dilakatakan sebagai pelaku kambuhan,” urainya.(DTC)
Foto: Andhika Akbarayansyah

Pos terkait