Mantra Adalah Puisi dan Puisi Adalah Mantra
Oleh : H Dheni Kurnia
MANTRA bagi saya adalah puisi; Penuh rima dan irama. Meskipun sesungguhnya mantra adalah susunan kata kata yang berkekuatan magis dan ghaib. Mantra bagi saya adalah perwujudan pikiran yang merepresentasikan keinginan saya melalui kekuatan Allah, syariat Rasulullah, serta kekuatan kosmik, yang menggunakan pengaruh getaran suara, ketika saya membacanya.
Dari kecil, saya sudah mengenal mantra. Sudah mempelajari mantra di banyak tempat di kampung saya. Kadang saya merapal untuk maksud dan tujuan tertentu. Kadang saya membacanya hanya untuk sekadar merintang hati yang gundah, atau mendendangkannya dikala saya rindu terhadap sesuatu ataupun seseorang.
Belakangan saya mempelajari, bahwa mantra merupakan jenis puisi. Dan, saya langsung setuju pendapat itu. Karena dari awal saya sudah menganggap mantra adalah puisi. Tapi saya tak paham, jenis puisi apa. Entah puisi romantis, puisi lama, prosa liris atau jenis puisi yang tidak dimengerti orang. Entahlah! Yang pasti bagi saya, mantra yang terkadang kata katanya sulit dimengerti awam, adalah sebuah puisi yang mengandung daya magis, daya pukau, daya pekasih, peledak rindu dan lain sebagainya.
Di beberapa referensi saya menemukan, mantra berasal dari bahasa sansekerta yaitu “Man” yang memiliki arti “Pikiran” dan “Tra” yang berarti “Pembebasan”. Jadi Mantra adalah kegiatan membebaskan pikiran. Mantra atau disebut juga “Manir”, berasal dari kata-kata yang berada di dalam Kitab Veda; kitab suci umat Hindu, yang dipercaya mempunyai kekuatan mistis. Karena ketika mantra diucapkan, kata kata itu akan menimbulkan kekuatan dan kemampuan tertentu bagi orang yang menggunakan atau mengucapkannya. Mantra umumnya didalami dan dikuasai oleh orang-orang tertentu, seperti dukun, bomo, pawang, patih, batin dan lainnya.
Di Talang Mamak, sebuah komunitas Suku Anak Dalam di Indragiri Hulu Riau, mantra sudah menjadi sebuah kebutuhan. Karena mantra digunakan buat mengobati orang yang sakit, mengusir roh jahat, puja puji kepada Sang Pencipta, menjinakkan binatang buas, meminta agar tumbuhan berbuah lebat, dendangan pengobat rindu dan lain sebagainya. Suku Talang Mamak, adalah salah satu suku proto Melayu atau Melayu Tua di Riau yang berhak atas sejumlah warisan tanah dan budaya di Indragiri. Di “Tanah Petalangan” inilah saya belajar sejumlah mantra mantra.
Sebagai Proto Melayu, tentu saja Suku Talang Mamak bersentuhan dengan bahasa Sansekerta, Islam dan bahasa Melayu Tua. Karena itu mantra yang mereka ucapkan, terdiri dari bahasa yang bercampur campur. Ada unsur Sansekerta, Arab dan tentu saja bahasa Melayu. Mereka mengolahnya menjadi sebuah rapalan atau ajian yang diyakini mampu membuat orang menjadi sehat, sakit, bahkan mampu membuat orang menjadi tunduk dan merindu pada mereka yang membacanya. Memang, semua mantra tidak langsung tajir atau mengena. Sebab itu, banyak mantra yang minta pertolongan Allah (khususnya untuk permintaan baik) selalu berakhir dengan kata kata; Berkat syafaat Yusuf, berkat syafaat Baginda Rasul, Laillahaillallah!
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mantra digolongkan sebagai khasanah budaya dan masuk dalam sastra lisan Indonesia. Ini dikarenakan sebagian besar bahasa mantra berirama dan sangat indah. Ucapan dalam mantra adalah rangkaian kata yang memiliki iramaIsi yang berbentuk puisi. Mantra diyakini didapat secara gaib, seperti keturunan atau mimpi, atau bisa pula diwarisi dari pengalaman dan pembelajaran. Kata kata mantra menjadi indah, karena cenderung esoteric dan mementingkan keindahan permainan bunyi.
Di kamus, saya juga menemukan bahwa mantra tergolong puisi bebas. Karena dia tidak terikat pada aspek rima, baris dan jumlah kata. Dari segi bahasa, sebagian mantra ada yang menggunakan bahasa yang kadang sulit untuk dimengerti. Bahkan adakalanya, perapal sendiri tidak memahami apa yang dia ucapkan. Pembaca hanya memahami kapan dan bagaimana mantra dibaca dan untuk apa tujuannya. Dari segi penggunaan, mantra tidak boleh diucapkan sembarangan, karena lafaznya dianggap keramat dan memiliki arti khusus.
Adapula waktunya mantra tidak tertulis. Tapi dia dirajah dengan menggunakan coretan, berupa gambar, rajah binatang, benda kuno, yang ditanamkan ke tanah atau dipasang di satu tempat, atau pula dibungkus sebagai jimat. Namun dia tetap menggunakan mantra suara; gumaman yang memiliki makna yang bermacam-macam. Terkadang pembacanya dalam keadaan “trance” dalam memvisualisasikan keadaan yang diinginkan. Pembacaan mantra yang diulang-ulang menjadi afirmasi dan menjadi sebuah sugesti diri. Dari sugesti inilah dijangkau pikiran bawah sadar, atau keyakinan akan keberhasilan.
Seperti yang saya katakan, saya menyukai mantra sejak kecil; Sejak umur saya 14 tahun. Kini umur saya, sudah di atas 50-an tahun. Waktu yang cukup lama bagi saya untuk menghafal, mempelajari, mendalami dan membaca mantra. Banyak kata dalam mantra yang menempel begitu saja dalam kepala saya. Juga, satu ketika saya pernah masuk bangku perkuliahan dan belajar bahasa dan sastra di Universitas Riau (Pekanbaru), sehingga saya menjadi Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Makanya, ketika saya kemudian melahirkan lima buku Mantra Puisi Talang Mamak, tentulah itu bukan sebuah kebetulan. Lima buku tentang mantra itu adalah; Olang Olang (dicetak tahun 2000), Tepian Sunyi (2002), Olang2 (2016) Roh Pekasih (2017) dan Bunatin, Romantisme Percintaan Talang (2018).
Di bawah tahun 2000, mantra mantra yang menurut saya adalah juga puisi tersebut, saya simpan dalam sebuah catatan khusus, sampai akhirnya saya bertemu dengan Pimpinan Suku Talang Mamak, Patih Laman, yang mengizinkan saya untuk menerbitkannya. Khusus buku Roh Pekasih, terpilih sebagai 16 besar Buku Puisi Terbaik di Seluruh Indonesia dalam Hari Puisi Indonesia (HPI) 2017. Sedangkan BUNATIN, terpilih sebagai Buku Puisi Terbaik se-Indonesia dalam HPI 2018 yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Dari sejumlah buku puisi itu, saya bersama teman teman se-komunitas, berkeliling dunia untuk mempromosikan Mantra dan Puisi Talang. Baik atas undangan para sahabat, institusi, lembaga, konsulat, kedutaan besar dan lainnya. Ataupun, bisa pula keinginan itu datang dari pihak saya. Sebab, saya dan teman teman yang meminta untuk berdiskusi tentang Mantra Talang Mamak serta membacakan puisi puisi tentang mantra, dimana kami suka.
Misalnya April tahun lalu, saya bersama Komunitas Panggung Toktan Riau, membacakan Mantra Puisi Talang Mamak di Pentas Feskubu, Kuala Kubu Baru (KKB), Selangor dan Dataran Putra Kuala Kangsar, Perak Malaysia. Kedatangan kami difasilitasi oleh Rektor Universitas Sultan Azlan Syah (USAS), Prof Dr Nordin Kardi, serta Tokoh Seni, Penyair, Budayawan dan Teaterawan Malaysia, Shamsuddin Osman (Dinsman), Yassin Salleh BT, MD Rizuan, Dato’ Syahrom bin Dato’ Abdul Malek, (Datuk Bandar/Walikota) Kuala Kangsar, Syahril Syamsuddin dan lainnya.
Dalam dua penampilan Roh Pekasih itu, TS Prof Nordin Kardi memberi judul; Kembara Konser Puisi Roh Pekasih Dheni Kurnia dan Panggung Toktan Riau. Seluruh puisi yang dibacakan dua malam berturut-turut berasal dari Buku Roh Pekasih yang terbit 2017. Di Kuala Kubu Baru, buku Roh Pekasih bahkan “dibedah” oleh Dinsman, Yassin Salleh dan sejumlah seniman Malaysia, diantaranya Prof Siti Zainon, Mansor Puteh, MD Rizuan, Khairunazwan Rodzy dan lainnya, termasuk para mahasiswa Universitas Sultan Idris, Tanjung Malim.
Puncak Konser dilaksanakan di Dataran Putra atau di Pusat Kota Kuala Kangsar, Perak. Hebatnya pada pentas yang dipandu Penyair Malaysia, Syarifah Khadijah itu, Yang Dipertua (YDP) Dato’ Bandar, Syahrom Abdul Malek, membacakan Deklarasi Kuala Kangsar (DKK) yang genap berusia satu tahun. DKK pertamakali dicanangkan di Kuala Kangsar melalui rekomendasi TS Nordin Kardi (Rektor USAS), A Samad Said (Seniman Negara), Shamsuddin Osman (Presiden Paksi Rakyat), Yassin Salleh BT (Presiden Ziarah Karyawan) dan lainnya. Bahkan malam itu, Nordin Kardi ikut membacakan Mantra Puisi; Roh Pekasih serta sebuah Puisi yang digubahnya; Penyair Dari Gunung. Sungguh saya berterimakasih pada orang orang hebat di Tanah Seberang itu.
Menurut Shamsuddin Osman, penampilan Panggung Toktan, sungguhlah hebat. Apalagi dalam Tim Panggung Toktan yang dipimpin Sang Imam; A Aris Abeba, ada pula sejumlah Penyair Riau yang memang akrab dengan Mantra. Mereka adalah Herman Rante, Tien Marni, Corry Islami, Hanif Muis Mahmud dan Kasmono. Penampilan musik tradisi yang diaransemen oleh Syahfitra Hara serta Rahmadi dan Fabri Hengky, tak kalah memukau penonton. Hentakan musik tradisi yang mereka mainkan, menghujam dalam dan membuat debar jantung lebih cepat dari biasa.
Syahdan, saya yang kini diangkat menjadi “Buya Panggung Toktan”, tentu takkan berhenti sampai di sini. Mantra Talang akan terus bergaung kemana mana, bersamaan dengan puisi puisi yang terus mengalir. Karena Mantra Talang sudah menjadi bagian dari hidup saya. Bagi saya; Mantra adalah Puisi, dan Puisi adalah Mantra. Apalagi antara saya dan Panggung Toktan saat ini, bagai titian atau jembatan yang tak bisa dipisahkan.
Mudah-mudahan kita pun berjumpa di kesempatan yang lain. Izinkan saya membawa keindahan mantra, puisi dan ketangguhan Tim Panggung Toktan, yang setakad ini masih peduli dengan kehidupan masyarakat Talang Mamak di pedalaman hutan Indragiri Hulu sana! *
H. Dheni Kurnia adalah Penyair Mantra Talang Mamak. Tinggal di Pekanbaru.