Jakarta,newshanter.com – Padahal pandemi covid 19 belum reda dan roda ekonomi belum berjalan normal. Gelombang bangkrut masih berlanjut dan bisnis sektor riil dan finansil masih baru siuman dari pingsan panjang bahkan dari baru bangkit dari mati suri.
Sementara bisnis disektor agro dan kelautan pun masih tertatih tatih akibat banyak negara baik pengekspor ikan maupun pengimpor ikan mandek akibat dampak pandemi covid 19. Sementara itu Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Indonesia dari dulu selalu shortfall alias defisit melulu, akibat pemasukan pajak sebagai satu satunya sumber utama alias tulang punggung (85%) APBN tidak pernah memenuhi target yang ditetapkan, demikian diutarakan oleh Ketua Umum Perhimpunan Pengacara Pajak Indonesia (PERJAKIN) pusat Petrus Loyani, SH.,MH.,MBA.
Dikatakan Petrus Layoni, padahal untuk kebutuhan dana pemerintah makin besar terutama untuk membayar utang pemerintah yang tiap tahun makin besar sekarang sudah mencapai kurang lebih Rp. 7000 triliun, maka jalan paling gampang yang ditempuh untuk mengatasi hal itu adalah dengan gali lobang tutup lobang alias utang ditutup dengan utang dan genjot pajak dari rakyat. Sekali lagi ini memang solusi yang paling gampang.
Kayaknya pemerintah sekarang tidak mau atau tidak berani kreatif sedikit atau bahkan tidak berani melakukan diskresi terukur misalnya dengan melakukan imbal prestasi antara investasi raksasa misalnya investasi diatas 50 triliun dengan pemberian stimulus tax allowance.
Misalnya dengan pengenaan tarif 5% utk PPh badan selama 25 tahun pertama investasinya tetapi seluruh laba perusahaan 100% selama 25 tahun itu harus dilock (diputar kembali). di Indonesia atau dengan pinjam pakai lahan dalam jangka waktu lebih lama dari masa HGU.
Kemudian, misalkan selama 120 tahun tetapi selama 60 tahun seluruh laba perusahaan harus dilock (diputar kembali) di Indonesia. Mengapa jalan yang ditempuh selalu utang dan genjot pajak dari rakyat? Utang pun ujung-ujungnya yang nanggung adalah rakyat juga.
Pajak memang punya dua fungsi budgetair dan reguleren, dua duanya memang bisa dimainkan pemerintah alias penguasa dalam rangka kebijakan publiknya, tetapi harus diingat dua fungsi itu untuk alasan apapun harus, sekali lagi harus dijiwai dan diukur dengan tiga prinsip hukum yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi segenap rakyat.
Ukuran kepastian hukum mengandaikan keberlakuan kebijakan publik harus diukur secara kuantitatif tidak hanya kualitatif seperti yang selama ini dipakai dalam dunia hukum Indonesia.
Artinya kata kepastian dalam hukum atas kebijakan publik juga harus diukur secara kuantitatif yang dalam konteks demokrasi dan welfare state harus ada angka yang jelas berapa jumlah penduduk yang sudah berada dalam strata yang dikatakan Montesque “utile” alias menengah atas dengan income percapita yang sudah jauh diatas PTKP dengan kemampuan daya beli (purchasing power).
Masih menurutnya, akan kebutuhan primer dan gaya pikul (ability to pay taxes) yang mantap dalam arti kemampuan bayar pajak sebagai akibat ekses dari kebutuhan minimum keluarganya sudah lebih dulu terpenuhi. Persoalan bagi Indonesia adalah koefisiensi gini atau gini ratio (gap kaya miskin) masih sangat lebar nyaris tak terseberangi.
Faktual masih puluhan juta rakyat Indonesia masih ngos ngosan napasnya dalam menjalani kehidupannya sehari hari sementara kaum the have atau prominent people yang jumlahnya tidak sampai 2% dari jumlah penduduk Indonesia yang kurang lebih 270 jutaan menguasai kurang lebih 70% kekayaan nasional.
Lanjutnya, pengusaha menengah dengan kekayaan 50 milyard ternyata pembayaran pajaknya dikalahkan oleh pembayaran PPh karyawan. Karena itu harus dipastikan secara kuantitatif jumlah strata ini dan pembayaran pajaknya.
Kebijakan publik dalam perspektif hukum juga harus diukur dengan prinsip kemanfaatan dalam arti apakah kebijakan menaikkan tarif PPN dan PPh serta amnesty pajak dampaknya benar benar bermanfaat bagi rakyat umumnya atau sebaliknya semua kebijakan pajak itu sedikit manfaat untuk rakyat tetapi sebesar besarnya untuk penguasa dan pengusaha papan atas tadi.
Mengapa bagi mereka tidak diberlakukan law enforcement alias penegakan hukum dalam pembayaran pajak tapi malah amnesty alias pengampunan melulu.(ton)