Kenapa Pilihan Politik Orang Minang Berbeda ?

suarat suara

KENAPA PILIHAN POLITIK ORANG MINANG BERBEDA?

Oleh Hasril Chaniago

Melihat hasil sementara Pilpres, muncul berbagai diskusi hangat di Medsos dan di kalangan orang Minang sendiri. Sekadar sharing, berikut saya sampaikan pandangan saya yang telah saya kemukakan di Grup WA Forum Minang Maimbau (FMM).

Hasril Caniago/ Foto FB

Asslkm Bapak/Ibu/Dunsanak FMM yang saya muliakan.

Ambo sajak tadi malam menyimak dialog dan diskusi yang sangat seru ini. Jelas ada beragam pendapat dan pandangan yang muncul, mulai yang dilandasi objektivitas rasional, emosional sentimentil, nostalgia masa lalu, dan segala macam istilah yang mungkin tak mudah kita fahami. Tapi ambo yakin semuanya tidak akan membuat kita menyatakan berhenti jadi orang Minang.

Dengan segala hormat ambo ingin berpendapat, perlu dialog dan diskusi yang komprehensif objektif untuk mengurai tema umum yang kita diskusikan ini, yaitu kenapa pilihan orang Minang berbeda dalam Pemilu 2019 ini, bahkan lebih kontras lagi dibanding Pamilu 2014.

Sangat banyak sebenarnya argumen yang bisa menjelaskan kenapa hal ini terjadi, baik dari sudut kajian sejarah, sosial budaya, dan lain2 di mana sejak masa lalu orang Minang itu adalah salah satu suku bangsa yang berbeda dengan suku bangsa lain di Indonesia.

Saya termasuk orang Minang yang beruntung bisa bergaul dengan hampir semua lapisan orang Minang (dari elite, akademisi, pedagang, hingga petani dari pedesaan), dan juga pernah bekerja sama dan berinteraksi dengan suku bangsa lain dari Aceh sampai Papua. Saya secara teratur paling tidak 4 hari dalam sebulan duduak di lapau di kampung sambil main koa dan domino, dan merasa beruntung juga suka membaca berbagai literatur dari penelitian dan tulisan banyak ahli dalam maupun luar negeri tentang orang Minang, sejarah, adat-budaya dan lain2nya.

Dari segala pengalaman dan pengetahuan yang tentu sangat terbatas, menurut saya kalau kita bicara mengenai karakteristik orang Minang, tidak bisa dengan cara menyederhanakan persoalan.

Dengan permintaan maaf dan rasa hormat, sebelum Pemilu kemarin saya pernah ikut nimbrung diskusi “hangat” Saudara Dr. @Miko Kamal dengan dunsanak ambo @⁨Andrinof Chaniago⁩ yang menyederhanakan persoalan dengan kesimpulan bahwa orang Minang (diduga) banyak memilih 02 karena terpapar hoaks. Saya menganggap ini terlalu menyederhanakan persoalan, dan Miko Kamal menganggap hal itu menghina orang Minang. Saya tegak pada pendirian Miko Kamal dan menganggap dunsanak ambo @⁨Andrinof Chaniago⁩ terlalu menyederhanakan persoalan.

Kalau kita ingin memahami karakteristik dan pendirian serta pilihan politik orang Minang, kajiannya harus mendalam dan komprehensif, tidak boleh cepat mengambil kesimpulan apalagi melakulan stigmatisasi. Apalagi kalau sampai kita capkan bahwa pilihan berbeda adalah sikap bukan NKRI.
Dua pekan laku saya diundang Prof. Mahfud MD untuk ikut berbicara dalam Sarasehan Kebangsaan di Padang. Sarasehan ini diadakan oleh Suluh Kebangsaam Indonesia yang digagas antara lain Prof. Mahfud dan intelektual Yogya dan didukung Buya Syafii Maarif.

Dalam kesempatan itu saya mencoba menjelaskan sikap dan.pandangan kebangsaan orang Minang yang sejak abad lalu sudah teguh dalam bingkai kebangsaan Indonesia. Bahkan dalam memberontak pun orang Minang tetap dalam.NKRI, kata saya.

Kalau kita pernah membaca buku Tsuyoshi Kato (Adat Minang dan Merantau) kita akan menemukan apa inti dari masyarakat Minangkabau, yaitu masyarakat matrilinial yang demokratis dan egaliter. Ciri egaliterian yang sangat nyata itu disebutkan Kato bahwa tidak ada “stratifikasi sosial” di Minangkabau. Orang tidak dibedakan oleh pangkat, kekayaan maupun kebangsawanan. Satu-satu2nya yang membedakan orang Minang hanyalah umur.

Mereka hormat kepads orang yang lebih tua, bukan kepada pangkat dan jabatan. Jadi benar apa yang dikatala Prof. @⁨DR Azmi⁩ dalam chat di atas (tadi malam) “Kayo den ndak ka mamintak, cadiak den ndak ka batanyo, bagak den ndak ka bacakak”. Orang lebih menghargai budi (akhlak) di atas segalanya.

Kalau kita ingin lebih jauh memahami karakter orang Minang, juga bisa kita lihat dari tulisan dan cacatan para peneliti dan pejabat Belanda sehabis Perang Paderi antara lain De Rooy dan Gubernur Stuer yang dikutip amat menarik oleh Rusli Amran dalam buku “Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang”.
Karakter itu tidak berubah sampai kini, yaitu berjiwa merdeka dan agaliter (pendapat itu juga diaminkan oleh Mrazek dalam buku Biografi Sutan Sjahrir).
Karena itulah, ketika ada teman saya dari Jakarta (bukan orang Minang) yang mengatakan bahwa setelah 12 kepala daerah di Sumbar mendukung Jokowi, maka suara Jokowi akan naik. Minimal katanya 40 persen. Tapi saya membantahnya, justru dukungan seperti itu akan membuat suara Prabowo akan naik. Kita buktikan tanggal 17 April nanti, kata saya. Kamarin kawan itu menelepon lagi, dan mengakui pendapat saya.

Untuk memahami fenomena ini mungkin kita bisa melihat kejadian setelah Paderi, ketika Belanda mengangkat Bagagarsyah jadi Regent Utama Minangkabau sebagai wakil Belanda di daerah darek.

Sebelum Paderi masyarakat Minangkabau relatif masih menghormati Bagagarsyah sebagai keturunan raja Pagaruyung meskipun simbolis. Tetapi ketika ia bersedia diangkat jadi wakil kolonial di darek Minangkabau, semua orang nenentangnya. Sehinga Belanda akhirnya menurunkan pangkat dan gajinya.
Demikian sedikit.sumbang saran untuk diskusi yang sedang hangat ini.

( Sumber Facebook Hasril Chaniago)

Pos terkait