MEDIA MASSA DI ZONA BINGUNG
Oleh Teje
Jurnalis alias wartawan, adalah pilar keempat demokrasi. Pemegang kontrol sosial dan menyuarakan kepentingan rakyat. Wartawan adalah penyambung lidah rakyat dan berpihak pada kebenaran.
Genap 28 th saya menjadi wartawan, sejak 1990 sampai sekarang 2019. Dimulai di harian sumatera ekspres manajemen Surya Persindo Group, milik Surya Paloh, kemudian Sumatera Ekspres manajemen Jawa Pos Group, milik Dahlan Iskan (1995-2018).
Selama menjadi wartawan, baru beberapa tahun terakhir ini saya merasa media massa Indonesia rasanya seperti iklan permen nano nano. Rame rasanya. Nyaris kehilangan rasa bersalah ketika kecolongan berita besar, atau kehilangan kontrol menjaga brand image media terpercaya.
Istilah balance (berimbang) bisa dibangun ketika media itu dalam keadaan netral, tetapi ketika pemilik media itu sdh masuk ke kancah politik, rasa balance dg sendirinya mengaburkan kepercayaan publik. Disitulah media massa terjebak di zona bingung, meski pemimpin redaksinya bilang, “kami netral.” Tapi intelektual publik bilang, “Bohong.”
Sejak saya jadi wartawan, Surya Paloh blm terjun ke politik, Dahlan Iskan juga blm terjun ke politik. Rasa beritanya benar2 menggigit dan terpercaya. Wartawannya ngeri2 sedap jika harus bermain mata di dunia politik. Karena penciuman wartawan itu tajam, sampe2 berita pun bisa dicium baunya oleh kawan sekantor. Jadi kalau wartawan sdh berani main mata ke partai politik tertentu, maka pilihannya adalah terjun ke politik alias pecat atau tetap lanjut sebagai wartawan.
Menjunjung disiplin kode etik dan netralitas inilah yg melahirkan berita terpercaya dan kredibilitas media massa menjadi sangat baik. Bahkan publik akan sakit kepala kalau sehari tidak membaca berita.
Saya sempat berpikir saat Dahlan Iskan bersedia masuk ke pemerintahan, yaitu dimulai dari dirinya menjabat sebagai Direktur PLN. Istri Dahlan juga sempat melarang agar jgn dekat2 partai politik atau jadi pejabat pemerintah. Tapi pertimbangan Dahlan di depan para General Manager koran group, bahwa dirinya tidak mencari uang di pemerintahan, tidak mencari gaji disana, tetapi ingin membaktikan dirinya agar berguna untuk masyatakat.
Seperti diceritakan Dahlan, dirinya sebenarnya sdh mati 2 tahun lalu seandainya operasi ganti hati itu gagal. Tapi Tuhan memberi kesempatan hidup. Nah sisa hidup itulah yg akan dipakai Dahlan utk membantu masyarakat, terutama masalah listrik yg saat itu byar pet setiap hari. Alasan Dahlan sangat baik dan mulia. Demi rakyat. Maka kami para wartawan dan GM koran group langsung mendukung. Intinya niat mulia utk rakyat adalah berpahala.
Setelah Dahlan berhasil, karir Dahlan dipemerintahan mulai melesat bak meteor, Dahlan langsung diangkat sebagai Menteri BUMN dan sempat terlibat memberi pengantar buku saya “Detik-Detik Menegangkan di Ruang Redaksi”, hingga akhirnya bau politik kanan kiri merebak. Upaya menjatuhkan Dahlan datang dari berbagai penjuru, terutama lawan politik yg merasa ketakutan kalau sampai Dahlan jadi Presiden.
Pertarungan partai politik makin dahsyat hingga membuat istilah DI (Demi Indonesia), yg merupakan plesetan DI (Dahlan Iskan) booming alias viral hingga mengerucut sampai puncak calon presiden Cikal bakal DI mau jadi presiden itulah yg membuat kami para wartawan dan GM media group sibuk membuat kaos Demi Indonesia (DI) dg berbagai macam gaya dan gambar Dahlan, bahkan sepatu cat pun merek DI. Intinya siap mensukseskan Dahlan dg membentuk pengurus cabang dan ranting. Dan jika partai tertentu siap mencalonkan Dahlan jadi presiden, tentu kami sebagai pemimpin koran group adalah org yg paling siap bertempur dan akan all out meski sedikit mengesampingkan rasa netralitas.
Bagaimana tidak, jika partai tertentu mencalonkan Dahlan, lawan politiknya pun akan melakukan upaya penjegalan. Dan kami siap sebagai bamper politik Dahlan setiap saat dan melakukan serangan lewat media. Saat itu kami tidak sadar bahwa media berpolitik pasti tidak netral. Tapi keyakinan kami adalah kebenaran demi rakyat, demi Indonesia. Karena niatnya baik, maka akal sehat kami akan bicara baik, meski apapun istilahnya tetap sulit menjunjung netralitas media. Akal sehat dikalahkan kebaikan semu dan mengaburkan netralitas.
Saat itu pilpres 2014, saya dan teman2 media group seperti kertas koran terombang-ambing ditiup angin, bahkan seperti berdiri setengah menginjak bumi, merapat ke kubu SBY, merapat ke kubu Prabowo dan merapat ke kubu Jokowi.
Hiruk pikuk dan rasa terpontang panting rapat dari daerah ke daerah hasilnya nol. Yg jadi presiden dan wakil Presiden malah Jokowi dan Jusuf Kalla. Pak Dahlan gak jadi apa2. Itulah politik, terkadang hanya minjam nama top seseorang dan sedikit ngintip duit kawan beserta kendaraannya.
Untung pak Dahlan gak jadi apa2, sehingga kami batal melanjutkan ke kancah politik media. Dahlan gagal terjegal pun masih untung. Sebab kalau dilanjutkan kredibilitas media akan dipertaruhkan. Saya merasakan itu sebagai seorang wartawan. Entah kalau media lain yg sdh basah dikancah politik. Kadang kami harus disadarkan utk berbuat apa dan utk apa. Utk kelompok tertentu, atau utk rakyat Indonesia?
Jika pembaca sudah muak dengan media yg tidak netral, maka habislah media tersebut dan akan sulit bangkit lagi. Untuk membangun kepercayaan bukanlah perkara gampang. Bukan bim salabim, tapi perlu perjuangan panjang berdarah2 bahkan memakan biaya yg cukup besar. Ternyata kebenaran menurut kita, tapi mengabaikan fungsi kontrol media, akan menjadi buruk bagi pembaca.
Sekali lagi, masih untung pak Dahlan tidak jadi presiden. Smoga Jawa Pos Group masih teguh memegang kontrol sosial dan tidak ikut membingungkan pembaca. Dan pembaca itu bukan manusia dungu jaman penjajahan. Tapi manusia milenial yg mampu melesat secepat klik dan membaca tanpa teks….
(Penulis wartawan lintas generasi Surya Persindo Group-Jawa Pos Group)